Sejarah Epidemiologi Gizi - Epidemiologi awalnya hanya diartikan sebagai studi tentang epidemi, dimana studi tersebut hanya mempelajari penyakit-penyakit menular saja. Namun, seiring berjalannya waktu akhirnya epidemiologi juga mempelajari penyakit-penyakit non-infeksi, sehingga saat ini epidemiologi dapat diartikan sebagai studi tentang penyebaran penyakit pada manusia di dalam konteks lingkungannya.
(Lihat juga Pengertian Epidemiologi Gizi Menurut Para Ahli).
Pengamatan mengenai hubungan antara makanan dengan penyakit telah dilakukan sejak zaman nenek moyang. Pada abad ke-4 sebelum Masehi, Hippocrates, seorang filsuf Yunani, dianggap sebagai tokoh gizi klinis karena Hippocrates menyatakan bahwa kesehatan dapat dijamin oleh diet yang baik dan higienis. Atas dasar itulah, maka diet (daita; Bahasa Yunani) diartikan sebagai hidup yang sehat menurut pemilihan panga yang baik dan sesuai.
(Lihat juga Pengertian Epidemiologi Gizi Menurut Para Ahli).
Pengamatan mengenai hubungan antara makanan dengan penyakit telah dilakukan sejak zaman nenek moyang. Pada abad ke-4 sebelum Masehi, Hippocrates, seorang filsuf Yunani, dianggap sebagai tokoh gizi klinis karena Hippocrates menyatakan bahwa kesehatan dapat dijamin oleh diet yang baik dan higienis. Atas dasar itulah, maka diet (daita; Bahasa Yunani) diartikan sebagai hidup yang sehat menurut pemilihan panga yang baik dan sesuai.
Pengamatan Hippocrates tentang
kaitan antara kesehatan dengan pilihan makanan membawa ia pada suatu kesimpulan
bahwa”...to the human body it makes a
great difference whether the bread be fine or coarse; with or without the hull,
whether mixed with much or little water, strongly wrought or scarcely at all,
bake or raw... Whoever pays attention to these things, or, paying attention,
does not comprehend them, how can he understand the diseases which befall men”
(Adam, 1939 dalam Byers, 1999). Kemudian, Hippocrates juga mengatakan bahwa
karena semua manusia adalah sama, tidak peduli apa yang mereka makan, mesti ada
diciptakan satu zat gizi yang diperuntukkan untuk segala sesuatu. Teori satu
zat gizi tersebut bertahan lama hingga mendekati era modern.
Hingga pertengahan abad ke-18,
belum ada pengamatan sistematis yang dapat dianggap sebagai percobaan ilmiah.
Namun pada tahun 1946, seorang ahli bedah pada angkatan laut Inggris bernama
James Lind melakukan percobaan, dimana usianya pada waktu itu sekitar 30 tahun.
James Lind meneliti 12 pelaut
Inggris yang mengalami penyakit scurvy
dengan tingkat keparahan yang sama. James Lind membagi keduabelas pelaut
tersebut menjadi dua kelompok yang sama untuk dua minggu perlakuan. Kelompok
pertama, diberikan jus lemon dan jeruk, sementara kelompok lainnya diberi
larutan asam belerang atau vinegar.
Ternyata, kelompok yang diberi jus lemon dan jeruk pulih dalam enam hari;
sedangkan kelompok yang diberi larutan asam belerang, tidak mengalami perbaikan
(Carpenter, 2003). Atas karyanya tersebut, akhirnya James Lind dijuluki sebagai
pemuka bagi uji klinis terkendali. Selain itu, hal penting yang terungkap dari
percobaan James Lind adalah bahwa buah heruk dan lemon dapat menyembuhkan atau
mencegah penyakit scurvy.
Peristiwa lain yang
melatarbelakangi perkembangan epidemiologi gizi adalah temuan Christian Eijkman
yang berkaitan dengan penyakit beri-beri. Pada tahun 1883, Christian Eijkman
melakukan percobaan pada subjek militer penderita beri-beri yang tinggal di
asrama. Christian Eijkman memberikan nasi dari beras yang tidak ditumbuk halus
(kulit arinya tidak hilang) kepada penderita beri-beri. Beberapa waktu
kemudian, penyakitnya hilang.
Pada saat itu, Christian
Eijkman belum mengetahui mengapa hal ini terjadi. Saat itu, Christian
Eijkmanmasih berpikir bahwa ada sesuatu di dalam beras yang tertumbuk halus
yang menjadi penyebab beri-beri, bukan karena kekurangan sesuatu. Beberapa
tahun kemudian, baru diketahui bahwa justru ada sesuatu di dalam beras yang
tidak tertumbuk halus yang ternyata dapat menyembuhkan beri-beri. Sesuatu itu
kemudian dikenal sebagai vitamin B1 (tiamin). Empat puluh enam setelah
percobaannya, yaitu pada tahun 1929, Christian Eijkman dianugerahi Hadiah Nobel
atas prestasinya tersebut. Inilah hadiah Nobel pertama atas karya ilmiah yang
dilakukan di bumi Indonesia. Atas jasanya itu pula, namanya diabadikan pada
Lembaga Biologi Molekular Eijkman.
Peristiwa lainnya yang juga
penting bagi perkembangan epidemiologi gizi berkenaan dengan pellagra. Dr.
Joseph Goldberger mengatakan bahwa pellagra tidak menghinggapi orang yang
mengkonsumsi diet campuran, atau lebih tepatnya diet seimbang. Penyakit
pellagra tidak mungkin menular dari satu orang ke orang yang lain (saat itu,
pellagra masih dianggap sebagai penyakit infeksi). Kemudian, Joseph Goldberger
melakukan eksperimen pada anjing. Pada tahun 1926, faktor pencegah pellagra
ditemukan dimana faktor tersebut termasuk dalam keluarga vitamin B. Sebelas
tahun kemudian, peneliti dari Unversitas Wisconsin menemukan bahwa vitamin itu
adalah asam nikotinat (niasin).
Pada tahun 1980-an, peneliti
Cina melakukan pendekatan epidemiologi dan menunjukkan bahwa kekurangan
selenium bertanggung jawab bagi tingginya insidensi penyakit Keshan di wilayah
tengah Cina. Temuan ini juga mengungkapkan bahwa gizi juga dapat mempengaruhi
agen penyebab penyakit. Pada orang yang tidak mengalami defisiensi selenium,
penyakit ini tidak muncul walaupun sudah terinfeksi virus penyebab penyakit
Keshan. Virus tersebut akan menjadi lebih ganas ketika seseorang pengidapnya
mengalami defisiensi sebelumnya. (Lihat juga Tujuan Epidemiologi Gizi).
Demikianlah Sejarah Epidemiologi Gizi yang di ambil dari berbagai sumber. Semoga bisa menambah
pengetahuan, dan bisa bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Tetap semangat belajar, di Zona
Pembelajar...
0 comments:
Post a Comment